Saterdag 16 Maart 2013

IBNU RUSYD DAN FILSAFATNYA


IBNU RUSYD DAN FILSAFATNYA
OLLEH : ASEP TAJUDIN[1]
BAB I
Pendahuluan

Ketika manusia lahir di dunia untuk berpikir, dari mengenal siapa dirinya, dari apa dirinya, di mana dirinya, untuk apa dirinya, dan akan kemana dirinya? Dia akan menggunakan akalnya untuk mencari informasi tentang jawaban pertanyaan tersebut. Ketika dia menggunakan akalnya disebut sedang berpikir. Berpikir adalah proses dinamis dimana individu bertindak aktif dalam menghadapi hal-hal yang bersifat abstrak[2]. Bersifat abstrak artinya tidak berwujud benda tetapi berwujud konsep atau tidak kelihatan oleh kasat mata. Dalam proses berpikir itu ada sesuatu yang dipikirkan. Sesuatu yang dipikirkannya itu disebut dengan objek berpikir. Sesuatu yang dipikirkannya itu adalah sarwa yang ada (maujudat). Sarwa yang ada ini adanya itu “wajib” dan ada yang adanya itu “mungkin.” Sesuatu yang adanya wajib adalah adanya Allah SWT (Pencipta), sedangkan sesuatu yang adanya mungkin adalah adanya seluruh makhluk (ciptaan Allah).[3]
Dari pengertian diatas tentang manusia berpikir dan objek berpikir itu adalah proses berfilsafat. Ketika seseorang berpikir dia sedang berfilsafat, tapi tidak semua yang berpikir itu berfilsafat. Oleh karena itu ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan.
1.      Berpikir secara radikal. Artinya berpikir sampai ke akar-akarnya. Radikal berasal dari kata Yunani radix yang berarti akar. Maksud dari berpikir sampai ke akar-akarnya adalah berpikir sampai pada hakikat, esensi atau sampai pada substansi yang dipikirkan. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan indrawi.
2.      Berpikir secara universal atau umum. Berpikir secara umum adalah berpikir tentang hal-hal serta suatu proses yang bersifat umum. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal yang bersifat khusus yang ada dalam kenyataan.
3.      Berpikir secara konseptual. Yaitu mengenai hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses individual. Berpikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan dengan pemikiran terhadap perbuatan-perbuatan bebas yang dilakukan oleh orang-orang tertentu sebagaimana yang biasa dipelajari oleh seorang psikolog, melainkan bersangkutan dengan pemikiran “apakah kebebasan itu”?
4.      Berpikir secara koheren dan konsisten. Artinya, berpikir sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir dan tidak mengandung kontradiksi atau dapat pula diartikan dengan berpikir secara runtut.
5.      Berpikir secara sistematik. Dalam mengemukakan jawaban terhadap suatu masalah, para filsuf memakai pendapat-pendapat sebagai wujud dari proses befilsafat. Pendapat-pendapat itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung maksud dan tujuan tertentu.
6.      Berpikir secara komprehensif (menyeluruh). Berpikir secara filsafat berusaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7.      Berpikir secara bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural ataupun religius. Berpikir dengan bebas itu bukan berarti sembarangan, sesuka hati, atau anarkhi, sebaliknya bahwa berpikir bebas adalah berpikir secara terikat. akan tetapi ikatan itu berasal dari dalam, dari kaidah-kaidah, dari disiplin fikiran itu sendiri. Dengan demikian pikiran dari luar sangat bebas, namun dari dalam sangatlah terikat.
8.      Berpikir atau pemikiran yang bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya sendiri. Seorang filsuf seolah-olah mendapat panggilan untuk membiarkan pikirannya menjelajahi kenyataan. Namun, fase berikutnya adalah bagaimana ia merumuskan pikiran-pikirannya itu agar dapat dikomunikasikan pada orang lain serta dipertanggungjawabkan.
9.      Berpikir spekulatif artinya secara bahasa dugaan atau tidak berdasarkan kenyataan atau bersifat untung-untungan. Secara istilah ialah Suatu pendapat atau dugaan yang tidak (belum) berdasarkan atas suatu kenyataan. Spekulasi merupakan suatu hal yang berguna untuk mengembangkan dan mencoba berbagai hipotesa. Spekulasi berangkat dari keinginan untuk mengembangkan dan mencoba memecahkan suatu masalah yang di tandai dengan beberapa usaha mencari solusinya. Misalnya seperti mengusulkan satu hipotesa atau lebih. Spekulasi merupakan karakteristik yang esensial dalam sikap ilmiah. Hasil pemikiran spekulasi di jadikan sebagai dasar untuk menjelajah wilayah pengetahuan yang baru. Hal ini tidak dapat di hindari, karena bagaimanapun juga jika kita ingin menyusur sebuah lingkaran (menjelajah sebuah masalah), maka kita harus memulainya terlebih dahulu dari sebuah titik (langkah awal) spekulasinya.[4]
Dalam sejarah perjalanannya, pemikiran filsafat di dunia Islam mengalami pertentangan dan perdebatan yang barangkali tidak dijumpai dalam sejarah tradisi pemikiran filsafat di manapun. Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataan bahwa di satu sisi keberadaan filsafat amat diagung-agungkan dan dianggap sebagai pelengkap kebenaran yang dibawa oleh agama, sementara di sisi lain, terutama kelompok yang diwakili oleh jumhur fiqhiyyah- mereka secara umum antipati dengan perbincangan dan obyek pemikiran filsafat yang dalam pandangan mereka bisa menjerumuskan seseorang kepada kekafiran.
Sehingga bisa dikatakan pemikiran filsafat dalam tradisi ahli hukum Islam (fuqoha) tidak tampak secara umum digemari. Demikianlah selama beberapa ratus tahun umat Islam ada dalam suasana polemis yang berkepanjangan. Puncak dari penolakan terhadap tradisi keilmuan filsafat, adalah ditandai dengan diterbitkannya sebuah kitab yang berjudul Tahafut al Falasifah, buah karya Hujjatul Islam: Imam Ghazaliy.
Dasar-dasar pemikiran filsafat mulai diragukan kebenarannya, orang mulai diajak untuk menyangsikan atau ragu-ragu di dalam mencari kebenaran lewat filsafat dengan cara memperbandingkannya secara diametral dengan konsep-konsep keagamaan yang terdapat dalam al Qur’an dan al Hadis. Seolah-olah terdapat jurang yang dalam yang mampu memisahkan alur pemikiran filsafat yang spekulatif dengan konsep-konsep keagamaan yang mentradisi di kalangan ummat Islam sebelumnya.
Untunglah di kemudian hari tampil ulama, ahli fiqh, sekaligus filsuf yang berusaha mengkoreksi dan mengkritisi kesalahan yang dibuat oleh Imam Ghazaliy (dan ulama-ulama yang mengikutinya) sekaligus membersihkan segala tuduhan dan kesangsian yang dituduhkan terhadap pemikiran filsafat seperti selama ini. Ia adalah Muhammad Ibn Rusyd, seorang ulama besar yang amat berjasa dalam mengembalikan kepercayaan sebagian ilmuwan kepada filsafat dan berusaha mendamaikan kembali pertengkaran yang terjadi antara fuqaha di satu sisi dengan filsuf di sisi yang lain. Dengan berusaha memberikan tawaran metodologis yang rasional dan sebegitu jauh tidak keluar dari semangat nash qur’an dan sunnah Nabi. Ibn Rusyd dipandang telah berhasil menghentikan laju kematian “ruh” filsafat di dunia Islam.
Namun tempat Ibnu Rusyd dalam sejarah pemikiran filosofis dalam Islam, sama sekali berbeda. Kesalahan dalam perspektif yang diakibatkan oleh pendekatan ini sangat kita sayangkan. Karena satu hal, studi itu mendorong untuk menggambarkan “Ibnu Rusyd” sebagai semacam pemimpin suatu pemberontakan Latin terhadap wewenang Gereja yang telah mapan, semacam Siger de Brabant Muslim, di satu pihak, atau pemimpin suatau gelombang intelektual yang segar di kalangan orang-orang Yahudi-Spanyol dan Perancis Selatan, di pihak lain. Selain itu, studi itu juga cendrung mengabaikan sumbangan aslinya kepada masalah menahun tentang hubungan antara filsafat dan Kitab Suci, dimana keyakinannya sendiri yang paling dalam nampaknya telah dicanangkan, dan akibatnya boleh dikatakan telah mendenasionalisasikannya. Tidak ada seorang pun dapat mengingkari sumbangan Ibnu Rusyd kepada penafsiran Aristoteles. Karena di sinilah terletak haknya yang tak dapat diganggu gugat untuk berdiri di barisan terdepan yang telah dilukiskan oleh kontingen sarjana-sarjana internasional, dari Theopharus sampai al-Farabi dan St. Thomas Aquinas, lewat pengabdian mereka kepada tujuan yang sama, yakni, kesatuan filosofis umat manusia. Tetapi jika, dalam proses ini, perhatian intelektualnya yang vital dan tempatnya dalam konteks historis pemikiran Islam diabaikan, ketidakadilan yang nista akan menimpanya.[5]


 BAB II
KESIMPULAN
Seperti telah dijelaskan di atas Ibnu Rusyd adalah pembuka pintu filsafat kembali, setelah mati menahun, dari kritikan Al-Ghazali pada kitab Tahafut Al-Falasifah yang lebih dominan, dan juga sebagai pembangkit kembali pemikiran-pemikiran Aristoteles. Ini terlihat dengan para muridnya seperti yang telah dijelaskan di atas. Sekaligus ancaman bagi para Gereja dalam pemikirannya yang dianggap secara tidak langsung sebagai pemimpin pemberontak Gereja.


DAFTAR PUSTAKA

Oliver Leaman. Avveross and His Philosphy.New York, Oxford University Press, 1988.
Majid Fakhry, History of Islamic Philosophy, diterjemahkan oleh R. Mulyadhi Kartanegara, Sejarah Filsafat Islam. Jakarta.Pustaka Jaya, 1986.
H. Sirajudin Zar, Filsafat Islam, Jakarta. PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Abdullah, Amin, Studi Islam : Normativitas atau Historistas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Amin, Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001.
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Bandung, Gema Risalah, 1993.
Hanafi, A, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta, Bulan Bintang, 1979.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam  Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.
_______________, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta, UI  Press, 1986.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999.
al-Qaradhawi, Yusuf, Pro Kontra Pemikiran al-Ghazali, Surabaya, Risalah Gusti, 1997.
Sucipto, Hery, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi, Bandung, Mizan, 2003.
Syarif, M.M, Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1985.



[1] Mahasiswa Matrikulasi Filsafat ICAS Paramadina Jakarta .
[2] Menurut Diana Purnama bisa dilihat di: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Diana%20Septi%20Purnama,%20M.Pd./%288%29%20Berpikir.pdf
[3]  Pembahasan “Objek Berpikir” ini disarikan dari Syekh Ahmad Syatibi, Nadzam Ilmu Maqulat, dari bait 7-29. Dicantumkan oleh Drs. H. sukriadi Sambas dalam buku, Mantik Kaidah Berpikir Islam, Bab III “Objek Berpikir” hal, 35.
[4]  Pembahasan “Ciri Berpikir filsafat “ini dapat dilihat di: http://edukonten.blogspot.com/2010/11/ciri-ciri-berfikir-filsafat.html dan : : http://anishidayati35.blog.com/2011/06/02/dogmatis-spekulatif-verifikatif-dan-falsifikatif/
[5][5]  Majid Fakhry, History of Islamic Philosophy, diterjemahkan oleh R. Mulyadhi Kartanegara, Sejarah Filsafat Islam. Jakarta.Pustaka Jaya, 1986. h. 378.
[6]  Majid Fakhry, History of Islamic Philosophy, diterjemahkan oleh R. Mulyadhi Kartanegara, Sejarah Filsafat Islam. Jakarta.Pustaka Jaya, 1986. h. 374.
[7]  H. Sirajudin Zar, Filsafat Islam, Jakarta. PT RajaGrafindo Persada, 2004, h. 225.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking