![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgc1HLG6qV8H0M32pgPCOfflbt3bLKWk8piYQjKgZ95JtavnvaMoENXGv5MjijunauXN_S74IjmuRPxI2loK47ZfrJqi1zF7b-T3C6UpYhBSZPMkyGqwXgKaRF0oUFslkAbrUUNlwdHpkk/s320/rushd.jpg)
IBNU RUSYD DAN FILSAFATNYA
OLLEH : ASEP TAJUDIN[1]
BAB I
Pendahuluan
Ketika
manusia lahir di dunia untuk berpikir, dari mengenal siapa dirinya, dari apa
dirinya, di mana dirinya, untuk apa dirinya, dan akan kemana dirinya? Dia akan
menggunakan akalnya untuk mencari informasi tentang jawaban pertanyaan tersebut.
Ketika dia menggunakan akalnya disebut sedang berpikir. Berpikir adalah proses
dinamis dimana individu bertindak aktif dalam menghadapi hal-hal yang bersifat
abstrak[2]. Bersifat
abstrak artinya tidak berwujud benda tetapi berwujud konsep atau tidak
kelihatan oleh kasat mata. Dalam proses berpikir itu ada sesuatu yang
dipikirkan. Sesuatu yang dipikirkannya itu disebut dengan objek berpikir.
Sesuatu yang dipikirkannya itu adalah sarwa yang ada (maujudat). Sarwa
yang ada ini adanya itu “wajib” dan ada yang adanya itu “mungkin.” Sesuatu yang
adanya wajib adalah adanya Allah SWT (Pencipta), sedangkan sesuatu yang adanya
mungkin adalah adanya seluruh makhluk (ciptaan Allah).[3]
Dari
pengertian diatas tentang manusia berpikir dan objek berpikir itu adalah proses
berfilsafat. Ketika seseorang berpikir dia sedang berfilsafat, tapi tidak semua
yang berpikir itu berfilsafat. Oleh karena itu ada beberapa ciri berpikir
secara kefilsafatan.
1.
Berpikir secara radikal. Artinya berpikir
sampai ke akar-akarnya. Radikal berasal dari kata Yunani radix yang berarti
akar. Maksud dari berpikir sampai ke akar-akarnya adalah berpikir sampai pada
hakikat, esensi atau sampai pada substansi yang dipikirkan. Manusia yang
berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki,
yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan indrawi.
2.
Berpikir secara universal atau umum. Berpikir
secara umum adalah berpikir tentang hal-hal serta suatu proses yang bersifat
umum. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf adalah keumuman yang diperoleh dari
hal-hal yang bersifat khusus yang ada dalam kenyataan.
3.
Berpikir secara konseptual. Yaitu mengenai
hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta
proses-proses individual. Berpikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan
dengan pemikiran terhadap perbuatan-perbuatan bebas yang dilakukan oleh
orang-orang tertentu sebagaimana yang biasa dipelajari oleh seorang psikolog,
melainkan bersangkutan dengan pemikiran “apakah kebebasan itu”?
4.
Berpikir secara koheren dan konsisten. Artinya,
berpikir sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir dan tidak mengandung kontradiksi
atau dapat pula diartikan dengan berpikir secara runtut.
5.
Berpikir secara sistematik. Dalam mengemukakan
jawaban terhadap suatu masalah, para filsuf memakai pendapat-pendapat sebagai
wujud dari proses befilsafat. Pendapat-pendapat itu harus saling berhubungan
secara teratur dan terkandung maksud dan tujuan tertentu.
6.
Berpikir secara komprehensif (menyeluruh). Berpikir
secara filsafat berusaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7.
Berpikir secara bebas. Bebas dari
prasangka-prasangka sosial, historis, kultural ataupun religius. Berpikir
dengan bebas itu bukan berarti sembarangan, sesuka hati, atau anarkhi,
sebaliknya bahwa berpikir bebas adalah berpikir secara terikat. akan tetapi
ikatan itu berasal dari dalam, dari kaidah-kaidah, dari disiplin fikiran itu
sendiri. Dengan demikian pikiran dari luar sangat bebas, namun dari dalam
sangatlah terikat.
8.
Berpikir atau pemikiran yang bertanggungjawab.
Pertanggungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya sendiri. Seorang
filsuf seolah-olah mendapat panggilan untuk membiarkan pikirannya menjelajahi
kenyataan. Namun, fase berikutnya adalah bagaimana ia merumuskan
pikiran-pikirannya itu agar dapat dikomunikasikan pada orang lain serta
dipertanggungjawabkan.
9.
Berpikir spekulatif artinya secara bahasa dugaan
atau tidak berdasarkan kenyataan atau bersifat untung-untungan. Secara istilah
ialah Suatu pendapat atau dugaan yang tidak (belum) berdasarkan atas suatu
kenyataan. Spekulasi merupakan suatu hal yang berguna untuk mengembangkan dan
mencoba berbagai hipotesa. Spekulasi berangkat dari keinginan untuk
mengembangkan dan mencoba memecahkan suatu masalah yang di tandai dengan
beberapa usaha mencari solusinya. Misalnya seperti mengusulkan satu hipotesa
atau lebih. Spekulasi merupakan karakteristik yang esensial dalam sikap ilmiah.
Hasil pemikiran spekulasi di jadikan sebagai dasar untuk menjelajah wilayah
pengetahuan yang baru. Hal ini tidak dapat di hindari, karena bagaimanapun juga
jika kita ingin menyusur sebuah lingkaran (menjelajah sebuah masalah), maka
kita harus memulainya terlebih dahulu dari sebuah titik (langkah awal)
spekulasinya.[4]
Dalam sejarah perjalanannya, pemikiran filsafat
di dunia Islam mengalami pertentangan dan perdebatan yang barangkali tidak
dijumpai dalam sejarah tradisi pemikiran filsafat di manapun. Hal ini dapat
dibuktikan dengan pernyataan bahwa di satu sisi keberadaan filsafat amat
diagung-agungkan dan dianggap sebagai pelengkap kebenaran yang dibawa oleh
agama, sementara di sisi lain, terutama kelompok yang diwakili oleh jumhur
fiqhiyyah- mereka secara umum antipati dengan perbincangan dan obyek pemikiran
filsafat yang dalam pandangan mereka bisa menjerumuskan seseorang kepada
kekafiran.
Sehingga bisa dikatakan pemikiran filsafat
dalam tradisi ahli hukum Islam (fuqoha) tidak tampak secara umum
digemari. Demikianlah selama beberapa ratus tahun umat Islam ada dalam suasana
polemis yang berkepanjangan. Puncak dari penolakan terhadap tradisi keilmuan
filsafat, adalah ditandai dengan diterbitkannya sebuah kitab yang berjudul
Tahafut al Falasifah, buah karya Hujjatul Islam: Imam Ghazaliy.
Dasar-dasar pemikiran filsafat mulai diragukan
kebenarannya, orang mulai diajak untuk menyangsikan atau ragu-ragu di dalam
mencari kebenaran lewat filsafat dengan cara memperbandingkannya secara
diametral dengan konsep-konsep keagamaan yang terdapat dalam al Qur’an dan al
Hadis. Seolah-olah terdapat jurang yang dalam yang mampu memisahkan alur
pemikiran filsafat yang spekulatif dengan konsep-konsep keagamaan yang
mentradisi di kalangan ummat Islam sebelumnya.
Untunglah di kemudian hari tampil ulama, ahli
fiqh, sekaligus filsuf yang berusaha mengkoreksi dan mengkritisi kesalahan yang
dibuat oleh Imam Ghazaliy (dan ulama-ulama yang mengikutinya) sekaligus
membersihkan segala tuduhan dan kesangsian yang dituduhkan terhadap pemikiran
filsafat seperti selama ini. Ia adalah Muhammad Ibn Rusyd, seorang ulama besar
yang amat berjasa dalam mengembalikan kepercayaan sebagian ilmuwan kepada
filsafat dan berusaha mendamaikan kembali pertengkaran yang terjadi antara
fuqaha di satu sisi dengan filsuf di sisi yang lain. Dengan berusaha memberikan
tawaran metodologis yang rasional dan sebegitu jauh tidak keluar dari semangat
nash qur’an dan sunnah Nabi. Ibn Rusyd dipandang telah berhasil menghentikan
laju kematian “ruh” filsafat di dunia Islam.
Namun tempat Ibnu Rusyd dalam sejarah pemikiran
filosofis dalam Islam, sama sekali berbeda. Kesalahan dalam perspektif yang
diakibatkan oleh pendekatan ini sangat kita sayangkan. Karena satu hal, studi itu
mendorong untuk menggambarkan “Ibnu Rusyd” sebagai semacam pemimpin suatu
pemberontakan Latin terhadap wewenang Gereja yang telah mapan, semacam Siger de
Brabant Muslim, di satu pihak, atau pemimpin suatau gelombang intelektual yang
segar di kalangan orang-orang Yahudi-Spanyol dan Perancis Selatan, di pihak
lain. Selain itu, studi itu juga cendrung mengabaikan sumbangan aslinya kepada
masalah menahun tentang hubungan antara filsafat dan Kitab Suci, dimana
keyakinannya sendiri yang paling dalam nampaknya telah dicanangkan, dan
akibatnya boleh dikatakan telah mendenasionalisasikannya. Tidak ada seorang pun
dapat mengingkari sumbangan Ibnu Rusyd kepada penafsiran Aristoteles. Karena di
sinilah terletak haknya yang tak dapat diganggu gugat untuk berdiri di barisan
terdepan yang telah dilukiskan oleh kontingen sarjana-sarjana internasional,
dari Theopharus sampai al-Farabi dan St. Thomas Aquinas, lewat pengabdian
mereka kepada tujuan yang sama, yakni, kesatuan filosofis umat manusia. Tetapi
jika, dalam proses ini, perhatian intelektualnya yang vital dan tempatnya dalam
konteks historis pemikiran Islam diabaikan, ketidakadilan yang nista akan
menimpanya.[5]
BAB II
KESIMPULAN
Seperti telah dijelaskan di atas Ibnu Rusyd adalah pembuka pintu
filsafat kembali, setelah mati menahun, dari kritikan Al-Ghazali pada kitab
Tahafut Al-Falasifah yang lebih dominan, dan juga sebagai pembangkit kembali
pemikiran-pemikiran Aristoteles. Ini terlihat dengan para muridnya seperti yang
telah dijelaskan di atas. Sekaligus ancaman bagi para Gereja dalam pemikirannya
yang dianggap secara tidak langsung sebagai pemimpin pemberontak Gereja.
DAFTAR PUSTAKA
Oliver
Leaman. Avveross and His Philosphy.New York, Oxford University Press,
1988.
Majid Fakhry, History
of Islamic Philosophy, diterjemahkan oleh R. Mulyadhi Kartanegara, Sejarah
Filsafat Islam. Jakarta.Pustaka Jaya, 1986.
H. Sirajudin Zar, Filsafat Islam, Jakarta. PT RajaGrafindo
Persada, 2004.
Abdullah,
Amin, Studi Islam : Normativitas atau Historistas, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 1999.
Amin,
Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya,
2001.
Departemen
Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Bandung, Gema Risalah, 1993.
Hanafi,
A, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta, Bulan Bintang, 1979.
Nasution,
Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan
Bintang, 1992.
_______________,
Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta, UI Press, 1986.
Nasution,
Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999.
al-Qaradhawi,
Yusuf, Pro Kontra Pemikiran al-Ghazali, Surabaya, Risalah Gusti, 1997.
Sucipto,
Hery, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi, Bandung,
Mizan, 2003.
Syarif,
M.M, Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1985.
[1]
Mahasiswa Matrikulasi Filsafat ICAS Paramadina Jakarta .
[2]
Menurut Diana Purnama bisa dilihat di: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Diana%20Septi%20Purnama,%20M.Pd./%288%29%20Berpikir.pdf
[3] Pembahasan “Objek Berpikir” ini disarikan
dari Syekh Ahmad Syatibi, Nadzam Ilmu Maqulat, dari bait 7-29.
Dicantumkan oleh Drs. H. sukriadi Sambas dalam buku, Mantik Kaidah Berpikir
Islam, Bab III “Objek Berpikir” hal, 35.
[4] Pembahasan
“Ciri Berpikir filsafat “ini dapat dilihat di: http://edukonten.blogspot.com/2010/11/ciri-ciri-berfikir-filsafat.html dan :
:
http://anishidayati35.blog.com/2011/06/02/dogmatis-spekulatif-verifikatif-dan-falsifikatif/
[5][5] Majid Fakhry, History of Islamic
Philosophy, diterjemahkan oleh R. Mulyadhi Kartanegara, Sejarah Filsafat
Islam. Jakarta.Pustaka Jaya, 1986. h. 378.
[6] Majid Fakhry, History of Islamic
Philosophy, diterjemahkan oleh R. Mulyadhi Kartanegara, Sejarah Filsafat
Islam. Jakarta.Pustaka Jaya, 1986. h. 374.
[7] H. Sirajudin Zar, Filsafat Islam,
Jakarta. PT RajaGrafindo Persada, 2004, h. 225.